Netty Heryawan Ajak Cegah Stunting Mulai Dari Hulu

“Kita meyakini bahwa stunting bukan sekadar gagal tumbuh, bukan sekadar pendek. Stunting bukan hanya kerdil. Paling bahaya dan paling ditakutkan sebagai akibat kekurangan gizi kronis pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) yang dampaknya anak-anak stunting kemampuan otaknya sebatas pada anak usia kelas satu SD.”

Netty Prasetiyani Heryawan, Anggota Komisi IX DPR RI

BANDUNG | WARTAKENCANA.ID

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Netty Prasetiyani Heryawan mengajak masyarakat untuk bersama-sama mencegah stunting mulai dari hulu. Yakni, sejak sebelum pernikahan dan masa kehamilan. Pencegahan juga dilakukan dengan mengoptimalkan 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Upaya ini penting agar Indonesia terbebas dari bencana peradaban yang dipicu tingginya angka stunting.

Netty mengungkapkan hal itu saat Sosialisasi Kampanye Penurunan Stunting Bersama Mitra Kerja di Villa Anissa, Ciparay, Kabupaten Bandung, pada Selasa, 6 Februri 2024. Netty hadir di hadapan ratusan warga bersama Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Fazar Supriadi Santosa,  Gubernur Jawa Barat 2008-2018 Ahmad Heryawan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bandung Wawan Ruswandi, dan Yofans Dwiaprihandijat dari Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Pelrindungan Anak (DP2AKBP3A) Kabupaten Bandung.

“Hari ini kita membahas isu stunting yang merupakan isu nasional. Mengapa bersama dengan BKKBN, bukan dengan Kementerian Kesehatan? Karena BKKBN mendapat amanah dari pemerintah untuk menjadi leading sector, garda terdepan, dalam upaya percepatan penurunan stunting di Indonesia,” ungkap Netty.

“Kita meyakini bahwa stunting bukan sekadar gagal tumbuh, bukan sekadar pendek. Stunting bukan hanya kerdil. Paling bahaya dan paling ditakutkan sebagai akibat kekurangan gizi kronis pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) yang dampaknya anak-anak stunting kemampuan otaknya sebatas pada anak usia kelas satu SD,” Netty menambahkan.

Menurutnya, anak-anak stunting bukan tidak mungkin hanya menjadi musibah peradaban karena Indonesia memiliki kekurangan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas. Kondisi ini hanya akan menjadikan anak-anak Indonesia menjadi tamu dan penonton di negeri sendiri dan melihat orang-orang asing, dengan kemampuan teknologinya, mengelola sumber daya alam yang dimiliki.

“Karena itu, kita berharap anak-anak Indonesia tumbuh menjadi anak-anak yang sehat dan cerdas. Anak-anak yang memiliki cita-cita yang tinggi untuk mengelola Bumi Pertiwi, Bumi Nusantara ini. Ini tidak akan terjadi jika anak-anak kita stunting. Karena itu, kita harus bersama-sama mencegah stunting,” tandas Netty.

Sesaat sebelumnya, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Fazar Supriadi Sentosa mengungkapkan bahwa saat ini penduduk Jawa Barat mendekati angka 50 juta. Jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Bahkan, sejumlah kabupaten di Jawa Barat memiliki jumlah penduduk lebih banyak dibanding jumlah penduduk satu provinsi di daerah lain.

“Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 48,7 juta. Tahun ini mungkin sudah 50 juta. Sekitar 20 persen dari penduduk nasional. Dengan demikian, pembangunan nasional sanbat ditentukan oleh Jabar. Jabar berhasil, maka nasional berhasil. Demikian pula dalam upaya penurunan stunting. Keberhasilan percepatan penurunan stunting di Indonesia sangat ditentukan oleh keberhasilan Jawa Barat,” ungkap Fazar.

Fazar mengingatkan bahwa stunting memiliki dampak jangka panjang. Dengan tumbuh dan kembang tidak optimal, maka peluang anak stunting menjadi menjadi tentara atau polisi yang mengharuskan tinggi badan ideal menjadi kecil. Belum lagi jika dihubungkan dengan perkembangan otak yang terhambat.

Stunting berarti gagal tumbuh dan berkembang. Tumbuh badan, tinggi dan berat. Kembang berarti otak. Ini jadi masalah. Dari sisi pendek, gak bisa masuk polisi atau tentara. Apalagi otaknya. Kalau tidak ditangani, akan bermasalah di sekolah. Apalagi pada masa produktif. Mereka akan lebih mudah sakit. Pada usia 40 sudah sakit-sakitan. Ini jadi problem. Jadi bebam keluarga dan beban negara,” tandas Fazar.(N)