Dukungan regulasi percepatan penurunan stunting boleh bilang komplet. Diawali terbitnya Peraturan Persiden Nomor 72 Tahun 2021 yang mendasari program percepatan penurunan stunting, BKKBN menerjemahkannya ke dalam rencana aksi nasional yang dituangkan dalam Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021. Dua perangkat hukum tersebut kemudian dipertajam dan semakin menukik dengan keluarnya tujuh quick wins dari Kepala BKKBN dan delapan amanat wakil presiden.
Konsep TSM atau tertstuktur, sistematis, dan massif lebih sering mengharu-biru publik selama perhelatan pemilihan umum (Pemilu), khususnya pemilihan presiden (Pilpres). Khususnya menyangkut tudingan kecurangan yang datang dari mereka yang tidak puas dengan hasil kontestasi. Padahal, sejatinya TSM tampak jelas kasat mata dalam ikhtiar percepatan penurunan stunting di Tanah Air. Mengusung lima pilar yang menyasar segenap pemangku kepentingan, percepatan penurunan berlangsung secara berjenjang dan melibatkan semua kalangan, dari pimpinan pemerintahan hingga masyarakat.
Tak cukup dengan dukungan Perpres dan Peraturan Badan, Kepala Badan Kependudkan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo merasa perlu membuat penajaman. Dia menyebutnya sebagai tujuh tugas penting dalam ranga upaya percepatan. Tujuh tugas penting ini kerap disebut sebagai quick wins. Hasto meminta minta Satuan Tugas Percepatan Penurunan Stunting (Satgas PPS) segera menuntaskan tujuh tugas penting tersebut di daerah masing-masing.
“Ada tujuh poin penting yang harus dikejar bersama satgas sebagai ujung tombak di seluruh daerah. Waktu kita sangat terbatas, tinggal 1,5 tahun lagi,” kata Hasto dalam Rapat Koordinasi Satgas Tingkat Kabupaten/Kota 2023 jelang pertengahan 2023 lalu.
Hasto menuturkan, Satgas mengemban tujuh tugas penting agar stunting bisa ditangani secara tepat sasaran dan cepat. Tugas pertama yang ia cermati harus segera diselesaikan adalah mengumpulkan data terkait hasil penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi baik baduta atau balita di posyandu, serta status kesehatan calon pengantin melalui aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Siap Hamil (Elsimil). Setiap data yang dikumpulkan wajib disusun secara realtime agar semua variabel terdata secara akurat dan kredibel bagi penanganan stunting di kemudian hari.
Tugas kedua terkait dengan pemberian pendampingan intensif kepada keluarga berisiko stunting (KRS). Ketiga adalah pemberian makanan tambahan (PMT) yang diolah, baik melalui anggaran desa atau dana stunting harus dipastikan masuk ke dalam mulut balita dan ibu hamil.
“Terkait PMT, sumber dayanya yang harus diawasi oleh Satgas dalam pelaksanaannya. Dipastikan benar-benar tersampaikan tepat sasaran, yaitu yang berasal dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas, dari dana desa, Program Keluarga Harapan (PKH), dan pemberian dari Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS)” katanya.
Kemudian, tugas keempat adalah menguatkan konvergensi ke semua dinas untuk ikut berkontribusi mengentaskan stunting. Misalnya, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pangan, Dinas Kesehatan, atau Dinas Keluarga Berencana, dengan penekanan stunting menjadi salah satu indikator penilaian reformasi birokrasi suatu daerah. Juga menjdi bagian evaluasi untuk mendapatkan piala Adipura, selain kemiskinan ekstrem dan inflasi.
Kelima terkait dengan perlunya menggelar minilokakarya tentang stunting di kecamatan berupa workshop. Hasto menekankan minilokakarya setidaknya digelar sekali dalam sebulan. Keenam, pentingnya pelaksanaan audit kasus stunting (AKS).
“Ketujuh adalah bagaimana menggerakkan semua pihak dengan ikut berpartisipasi menjadi Bapak Asuh Anak Stunting tadi. Ini penting karena gotong royong ini menjadi kekuatan yang cukup besar. Inilah bapak ibu sekalian, saya berharap dengan kegiatan secara pentaheliks, semua dikeroyok secara bersama-sama,” ujarnya.
Delapan Amanat Wapres
Lima bulan sejak Kepala BKKBN sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Nasional mengeluarkan tujuh tugas penting, giliran Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan delapan amanat percepatan penurunan stunting. Ketua Pengarah Percepatan Penurunan Stunting Nasional ini menyampaikan amanatnya pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan Penurunan Stunting di Istana Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, awal Oktober lalu.
Wapres Ma’ruf menekankan target penurunan prevalensi stunting menjadi 14 persen harus tercapai pada 2024. Wapres memberikan delapan amanat penting untuk memastikan prevalensi stunting turun. Amanat ini ditujukan kepada kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi, provinsi kabupaten/kota dalam perencanaan, penganggaran, pendataan, dan pemberian intervensi pada kelompok sasaran utama penurunan stunting untuk 2023 dan 2024.
Pertama, program percepatan penurunan stunting harus dipastikan tetap menjadi program prioritas bangsa pada masa transisi pemerintahan. Kedua, perlunya peningkatan kapasitas kader posyandu dan puskesmas agar pemantauan status gizi bisa dilakukan dengan cepat dan akurat. Ketiga, perlu peningkatan cakupan dan kualitas konsumsi tablet tambah darah (TTD), pemeriksaan kehamilan minimal enam kali, pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, makanan pendamping ASI bergizi, dan imunisasi dasar lengkap.
Keempat, perlunya edukasi pengasuhan anak diberikan tidak hanya kepada orang tua, tetapi juga kepada keluarga besar, termasuk nenek dan kakek, agar anak tidak stunting. Kelima, perlu penguatan pengorganisasian dan kapasitas penggerak di lapangan untuk memastikan setiap intervensi penurunan stunting betul-betul digunakan tepat sasaran.
Keenam, berbagai pendekatan untuk mempercepat penurunan stunting perlu digunakan. Tidak hanya pendekatan legal-formal dan politik, tetapi juga pendekatan sosial-kultural dan keagamaan perlu digunakan. Ketujuh, masalah stunting dan masalah gizi lainnya harus dituntaskan. Percepatan penurunan stunting bukan soal prevalensi, tetapi tugas kemanusiaan yang berkelanjutan dan penentu kualitas kehidupan bangsa ke depan. Kedelapan, perlu dilakukan refleksi dan evaluasi bersama secara menyeluruh untuk menjadi rekomendasi bagi pemerintahan mendatang.
Dalam Rakornas ini, selain 120 peserta dari gubernur, bupati/wali kota, sektor swasta, universitas, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, juga hadir Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala Kantor Staff Presiden, dan Kepala BKKBN selaku Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting Pusat.
Dalam akhir arahannya, Wakil Presiden menekankan pentingnya kolaborasi multisektoral. “Peran aktif, sinergi, dan kolaborasi seluruh pihak adalah kunci dalam upaya mengatasi masalah gizi, termasuk stunting,” pesannya.
Karena itu, Wapres meminta kepada penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota, serta seluruh organisasi perangkat daerah untuk betul-betul mengawal pelaksanaan program. Mereka juga harus memastikan agar penurunan stunting tetap menjadi program prioritas pada saat transisi pemerintahan, sehingga target 14 persen bisa dicapai.
Jawa Barat
Strategi upaya percepatan di Jawa Barat dapat dilihat dalam laporan Satgas PPS yang akan disampaikan pada forum Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dan Percepatan Penurunan Stunting 2024. Data Elsimil bisa dilihat lebih dekat melalui dashboard BKKBN. Per Desember 2023 lalu, pendampingan calon pengantin (Catin) dilakukan kepada 58.461 pasangan.
Pendampingan pasangan usia subur (PUS) oleh Tim Pendamping Keluarga (TPK) berlangsung kepada 5.155 pasangan dan 437.590 ibu hamil. Pendampingan juga diberikan kepada 18.825 ibu nifas, 406.139 bayi berusia 0-28 hari, dan 139.957 bayi di bawah usia dua tahun (Baduta) di bawah enam bulan. Juga kepada 456.182 baduta di atas enam bulan.
Kegiatan pendampingan melibatkan 37.184 TPK, dengan masing-masing tim terdiri atas bidan, kader keluarga berencana (KB), dan dan kader pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK). Dengan begitu, total TPK di Jawa Barat mencapai 111.552 orang, tersebar di 27 kabupaten dan kota se-Jawa Barat dengan proporsi sesuai jumlah penduduk masing-masing daerah. Dari jumlah tersebut, 110.778 di antaranya masuk kategori TPK terlatih. Semakin banyak jumlah penduduk suatu kabupaten atau kota, semakin banyak pula TPK yang dimiliki.
Audit Kasus Stunting sebagai salah satu tugas penting lainnya berhasil dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota. AKS siklus pertama bisa terlaksana 100 persen, sementara siklus kedua hanya 92,59 persen. Setiap siklus AKS terdiri atas identifikasi, pengisian kertas lembar kerja, kajian AKS, dan rencana tindak lanjut (RTL) dan diseminasi.
“Kegiatan AKS tidak hanya selesai sampai diseminasi. Lebih dari itu, harus diselesaikan hingga evaluasi RTL. AKS ini bukan hanya tugas TPPS, melainkan tugas bersama dengan pemerintah kabupaten dan kota,” terang Koordinator Program Manager Satgas PPS Jawa Barat Yulianto saat ditemui belum lama ini.
Berikutnya adalah minilokakarya. Yulianto menjelaskan, minilokakarya terealisasi 93,14 persen. Dari 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat, target etrcapai di 17 kabupaten dan kota. Adapun realisasi serapan biaya operasional keluarga berencana (BOKB) sebesar 93,12 persen.
“Ada 10 kabupaten dan kota yang tidak mencapai target realisasi minilokakarya. Ke-10 daerah tersebut terdiri atas Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya, Kota Depok, Tabupaten Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kota Banjar, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor,” terang Yulianto.
Bagaimana dengan BAAS? Manajer Data, Pemantauan, dan Evaluasi Satgas PPS Jawa Barat Ricky Perdana Kusuma mengaku belum bisa memastikan jumlah bapak asuh maupun bunda asuh di seluruh Jawa Barat. Hal ini terjadi karena kabupaten dan kota melakukan penggalangan mandiri untuk mengajak para pihak menjadi bapak asuh atau bunda asuh anak stunting.
“Yang bisa dilaporkan adalah jumlah investasi program BAAS sebesar Rp 45.515.567,00. Jumlah tersebut bisa terpantau karena donasi dilakukan melalui Baznas yang sudah bekerjasama dengan BKKBN,” ungkap Ricky.
Ricky menjelaskan, sampai Desember 2023 sasaran terintervensi BAAS cukup besar. Jumlah terbesar adalah keluarga berisiko stunting (KRS) sebanyak 51.247 keluara. Kemudian ada 17.322 baduta, 5.907 ibu hamil, dan 4.335 balita.
Untuk konvergensi program, Satgas PPS Jabar melaporkan dua organisasi perangkat daerah (OPD) Jawa Barat: Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) dan Dinas Sosial (Dinsos). Disperkim melakukan 803 perbaikan rumah tinggal layak huni. Dinsos melaporkan 22.420 keluara menerima program bantuan Program Keluarga Harapan (PKH).
Satgas PPS Jabar juga melaporkan bahwa Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) sudah terbentuk di seluruh jenjang di Jawa Barat. Selain di tingkat provinsi, TPPS sudah terbentuk di 27 kabupaten dan kota, 627 kecamatan, dan 5.957 desa/kelurahan se-Jawa Barat. Seluruh kabupaten dan kota juga tercatat sudah memiliki surat keputusan tim audit kasus stunting. (N)