Juni menjadi bulan supersibuk bagi BKKBN. Selain menggelar aneka rupa lomba dan apresiasi penghargaan dalam rangka Harganas, bulan ini bertepatan dengan bulan intervensi serentak pencegahan stunting. Ini tidak lepas dari tugas tambahannya sebagai leading sector percepatan penurunan stunting nasional. Tak sia-sia, hasilnya menggembirakan. Cakupan maupun capaian sama-sama melampaui ambang batas minimum yang ditetapkan sebelumnya.
Pemerintah sempat bungah mendapati hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 lalu. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan kabar baik tersebut dengan senyum merekah saat memberikan sambutan dalam salah satu pertemuan di bilangan Pasteur, Kota Bandung, lebih dari setahun lalu. Prevalensi stunting turun drastis dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen setahun kemudian. Nada optimisme membuncah menuju 14 persen pada 2024.
Apa lacur, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 membawa kabar sendu. Kerja keras setahun terakhir hanya mampu menurunkan 0,1 persen menjadi 21,5 persen berdasarkan survei tersebut. Pemerintah merasa perlu melakukan validasi dengan cara mengukur seluruh balita di seantero negeri. Pelaksanaannya serentak. Hasilnya dianggap lebih akurat karena mengukur semua populasi, bukan semata sampel survei.
Tak kurang dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan apresiasinya atas gerakan intervensi serentak pencegahan stunting yang dilakukan di seluruh Indonesia. Dia optimistis angka stunting pada 2024 berada di bawah 20 persen. Menko Muhadjir menyampaikan hal itu saat mewakili Presiden dalam sambutannya pada peringatan puncak Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 Tahun 2024 di Lapangan Pancasila, Simpang Lima, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada 29 Juni 2024.
“Alhamdulillah target 95 persen balita seluruh Indonesia yang diukur dan ditimbang (di posyandu) dan diintervensi stunting-nya Insyaallah bisa dilaksanakan dengan baik. Tinggal nanti kita akan melihat triangulasi data dari SKI dengan hasil pengukuran ini seperti apa,” ujar Muhadjir.
Menko PMK berharap sensus bayi dengan kriteria yang sudah standar dan dilakukan oleh tenaga terdidik dan terlatih memiliki tingkat akurasi lebih baik dari survei. Alasannya, saat ini seluruh posyandu sudah mempunyai alat antropometri standar. Alat ini penting agar pengukuran terhadap bayi seragam. Tenaga relawan juga harus memiliki kemampuan yang sama. Capaian sensus juga harus 95 persen.
Menko Muhadjir juga menjelaskan bahwa survei yang dilakukan pasti ada tingkat kesalahan. Tetapi sensus dengan 95 persen lebih balita yang jumlahnya hampir 18 juta di Indonesia akan menggambarkan kondisi sesungguhnya bagaimana kondisi balita di Indonesia, sekaligus intervensinya.
“Karena dalam sensus by name by address, siapa bapaknya dan siapa ibunya, tinggal di mana, kondisi statusnya apa, jelas sehingga kita bisa minta ke pemerintah daerah untuk menangani,” ujarnya.
Lampaui Target
Di Jawa Barat, intervensi serentak berhasil mengukur 3,1 juta bayi di bawah lima tahun (Balita), tepatnya 3.106.154 balita. Dibanding target sasaran sebanyak 3.128.208 balita, jumlah ini menunjukkan capaian 99,29 persen. Nyaris 100 persen. Capaian ini juga berhasil menjadikan Jawa Barat pada daftar 10 besar provinsi dengan persentase tertinggi jumlah balita yang diukur.
Sistem Informasi Gigi (Sigizi) Terpadu Kementerian Kesehatan mencatat, 16.922.284 balita yang menjadi sasaran. Dari jumlah tersebut, berhasil dilakukan pengukuran sebanyak 16.378.085 balita atau 96,78 persen terhadap sasaran. Terdapat dua provinsi yang berhasil menuntaskan pengukuran seluruh balita sasaran, yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Banten.
Dari seluruh balita yang dikur, berapa jumlah kasus stunting di Jawa Barat? Simsalabim, “hanya” 188.989 kasus atau 6,1 persen. Angka ini jauh di bawah hasil SKI 2023. Merujuk hasil SKI 2023 yang dirilis Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi stunting di Jawa Barat masih atas angka psikologis 20 persen. Tepatnya 21,7 persen. Naik lagi dari sebelumnya 20,20 persen berdasarkan SSGI 2022.
Sigizi Terpadu juga mencatat seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat berhasil melampaui target pengukuran 90 persen. Bahkan, 14 kabupaten dan kota berhasil menuntaskan seluruh balita sasaran. Keempat kabupaten dan kota tersebut meliputi Cianjur, Purwakarta, Sumedang, Tasikmalaya, Kota Banjar, Kota Sukabumi, Bandung, Karawang, Kuningan, Kota Bogor, Bekasi, Garut, Cirebon, dan Pangandaran.
Dari 188.989 balita stunting di Jawa Barat, tercatat kasus stunting terbanyak ada di Kabupaten Bandung dengan jumlah 24.435 kasus. Sementara terbanyak berikut adalah Kabupaten Garut sebanyak 22.832 kasus dan Kabupaten Sukabumi sebanyak 17.452 kasus. Sebaliknya, jumlah kasus terendah di Kabupaten Pangandaran sebanyak 621 kasus, diikuti Kota Banjar 760 kasus. Keduanya merupakan daerah dengan jumlah kasus di bawah 1.000 kasus. Daerah lainnya memiliki kasus di atas 1.000.
Tentu, jumlah kasus tidak berbanding lurus dengan tingkat prevalensi stunting itu sendiri. Dari 27 kabupaten dan kota, Kota Tasikmalaya tercatat memiliki prevalensi paling tinggi, 19,6 persen. Prevalensi tertinggi berikutnya adalah Kota Sukabumi (13,5 persen) dan Kabupaten Garut (11,4 persen). Hanya daerah tersebut yang memiliki prevalensi stunting di atas 10 persen.
Di kutub sebaliknya, Kabupaten Bekasi berhasil menjadi daerah dengan tingkat prevalensi terendah. Daerah industri ini hanya memiliki 1,3 persen balita stunting. Tetangganya, Kabupaten Karawang, juga rendah. Memiliki prevalensi yang sama dengan Kabupaten Bogor, dua daerah ini memiliki prevalensi 1,8 persen. Tiga daerah ini pula yang sukses mencatatkan prevalensi stunting di bawah 2 persen.
Tak hanya stunting, gerakan intervensi serentak turut mengukur balita dengan gizi bermasalah. Dengan kata lain, tidak semua balita dengan gizi bermasalah dapat dikategorikan stunting. Total ada 1.068.171 balita mengalami masalah gizi di Jawa Barat. Presentase balita dengan masalah gizi terbanyak terdapat di Kabupaten Sumedang, 52,59 persen. Adapun terendah Kabupaten Bekasi dengan sebanyak 17,34 persen.
e-PPBGM vs SKI
Menyimak data keseluruhan hasil intervensi serentak melalui elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), terdapat selisih mencolok jika dibandingkan dengan hasil SKI 2023. Prevalensi stunting Jawa Barat berdasarkan SKI 2023 sebesar 21,7 persen, sementara e-PPBGM hanya 6,1 persen. Selisihnya tak tanggung-tanggung mencapai 15,6 persen. Seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat menunjukkan prevalensi stunting hasil intervensi serentak lebih rendah dibandingkan hasil SKI 2023.
Kabupaten Bogor tercatat memiliki selisih paling tinggi, 25,8 persen. Bila e-PPBGM mencatat 7.522 kasus atau 1,8 persen, hasil SKI 2023 menunjukkan 27 persen. Sebaliknya, Kota Depok tercatat hanya memiliki selisih 5 persen, dari 9,3 persen e-PPBGM berbanding hasil SKI 2023 sebesar 14,3 persen. Bersama dengan Kota Bekasi, keduanya merupakan daerah dengan prevalensi terendah berdasarkan hasil SKI 2023.
Menanggapi perbedaan data tersebut, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Fazar Supriadi Sentosa menegaskan bahwa adanya selisih sangat mungkin terjadi. Selain perbedaan metode penelitian, selisih hasil juga bisa dipahami dari perbedaan waktu pelaksanaan. SKI 2023 dilaksanakan selama periode survei Agustus hingga pekan pertama Oktober 2023, sementara intervensi serentak dilaksanakan pada Juni 2024.
“Sebagaimana survei, data SKI itu random berdasar sampling data. Tidak semua balita diukur, hanya sampel. Ini berbeda dengan e-PPBGM yang dilakukan melalui sensus, by name by address. Waktunya juga serentak selama sebulan. Saya meyakini hasil intervensi serentak ini lebih akurat dan bisa dipercaya,” ungkap Fazar
Disinggung capaian pengukuran yang menempatkan Jawa Barat pada posisi kesembilan dari 38 provinsi di Indonesia, Fazar menilai hal itu sudah menjadi pencapaian terbaik. Dia berdalih jumlah sasaran balita di Jawa Barat jauh lebih tinggi dari provinsi lain. Total ada 3.128.208 balita Jawa Barat yang menjadi sasaran intervensi. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari Jawa Timur di posisi kedua sebanyak 2.310.305 balita dan Jawa Tengah sebanyak 2.139.086 balita. Apalagi jika dibandingkan dengan provinsi kecil seperti Kepulauan Riau sebanyak 116.821 balita atau Provinsi Papua Pegunungan yang hanya memiliki 24.670 balita sasaran.
“Memang targetnya itu sebenarnya 97 persen, tapi Pak Kepala (BKKBN) berharap seluruhnya 100 persen. Hasilnya alhamdulillah, kita nyaris 100 persen. Ini sudah luar biasa. Kami di BKKBN mengucapkan terima kasih kepada para kader posyandu yang sudah menjalankan tugas dengan sangat baik,” ujar Fazar.
Dengan hasil e-PPBGM ini, Fazar kini mengaku lebih reugreug. Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) bisa lebih fokus memberikan intervensi kepada 6,1 persen balita yang dinyatakan stunting. Pada saat yang sama, pihaknya terus meningkatkan intervensi sensitif kepada calon pengantindan ibu hamil serta mendorong para pemangku kepentingan lain untuk bahu-membahu melakukan pencegahan stunting. [H/N]