“… gambar mengerikan itu –lukisan yang menggambarkan lautan luas manusia, gerombolan-gerombolan orang sakit, yang kesemuanya memanjat tubuh satu sama lain dalam belitan padat tubuh-tubuh telanjang.” “.. ke sanalah kita menuju.”

Itulah dialog singkat antara tokoh transhumanisme Bertrand Zobrist –pengagum sastrawan abad ke-13 Dante Alighieri– dan seorang perempuan yang diceritakan sebagai orang nomor satu World Health Organization (WHO) dalam novel teranyar Dan Brown –penulis novel best seller The Davinci Code, Angel and Demond, dan The Lost Symbol– bertajuk Inferno. Boleh dibilang Inferno menjadi satu model advokasi terbaik mengenai demografi melalui karya sastra kelas dunia. Dialog tersebut membahas sebuah gambar yang dianggap Dante sebagai ilustrasi neraka.

“Nerakanya Dante bukanlah fiksi… itu ramalan!

Kesengsaraan yang luar biasa. Penderitaan yang menyiksa.

Inilah gambaran hari esok kita.

Umat manusia, jika tidak terkendali, berfungsi seperti wabah, seperti kanker… jumlah kita meningkat pada setiap generasi hingga kenyamanan duniawi yang pernah menyehatkan hidup dan persaudaraan kita menyusut sampai habis… mengungkapkan monster-monster di dalam diri kita… yang bertempur hingga mati untuk memberi makan keturunan kita.”

Begitu dialog lainnya dalam bagian berbeda. Ini mengingatkan kita pada kutipan Thomas Robert Malthus dalam An Essay on the Principle of Population. Keruntuhan global akibat overpopulasi. Kekuatan populasi sangat mengungguli kekuatan bumi untuk menghasilkan kehidupan bagi manusia. Menurut Malthus, sifat jahat umat manusia bersifat aktif dan bisa berfungsi sebagai depopulasi. Sifat jahat itu bisa memicu perang yang menyebabkan pemusnahan besar. Namun, seandainya kejahatan gagal melancarkan perang pemusnahan, maka musim penyakit, epidemi, pes, dan wabah maju membentuk barisan luar biasa, menyapu ribuan dan puluhan ribu manusia.

Dan, seorang ilmuwan pakar sosial, Jared Diamond, menyebutkan dalam bukunya Collapse, bahwa aktivitas penduduk di bumi berada pada  titik persimpangan, antara  eksplorasi ataukah eksploitasi. Apabila sumber daya alam dieksploitasi secara besar-besaran tidak terkendali, maka akan terjadi bunuh diri sosial (societal suicide), yaitu manusia menghancurkan lingkungan hidupnya sendiri.

Apakah hubungan antara visi neraka Dante dan Inferno dan hitungan matematika eksponensial tentang populasi? Tentu saja jawabannya sangat jelas. Ada di depan mata. Mari tengok sejenak pertumbuhan penduduk kita. Perlu ribuan tahun bagi bumi untuk menggenapkan jumlah penduduk menjadi 1 miliar jiwa. Ya, United Nations World Population Prospects mencatat jumlah penduduk baru mencapai 1 miliar pada 1804. Padahal, bumi sudah lahir sejak jutaan tahun sebelum masehi.

Lalu, secara menakjubkan, hanya perlu 100 sekitar tahun untuk melipatgandakan populasi menjadi 2 miliar pada 1927. Setelah itu, hanya perlu 50 tahun untuk berlipat menjadi 4 miliar pada 1974. Setelah mencapai 7 miliar setahun lalu, kita hanya perlu sampai 2024 untuk menjadi 8 miliar. Sehingga, pada 2048 kita sudah berdesakkan bersama 9 miliar penghuni bumi. Bila kita meghitung luas area biologis yang dibutuhkan manusia dalam memproduksi kebutuhan-kebutuhannya (ecological footprint), sesungguhnya bumi sudah kelebihan beban. www.footprintnetwork.org menghitung, sampai 2008 lalu sebenarnya manusia sudah membutuhkan satu setengah bumi. Dengan angka pertumbuhan seperti saat ini, maka pada 2050 mendatang manusia membutuhkan tiga keping bumi untuk menjalani sebuah kehidupan normal. Wow!

Sayangnya, ancaman nyata overpopulasi di depan mata tersebut hanya muncul di ruang-ruang seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah pakar demografi, prosiding makalah, policy brief, lalu mengendap di ruang sunyi perpustakaan atau bahkan kolong meja. Tak banyak orang tahu, apalagi sadar dan tercerahkan. Isu-isu kependudukan kalah seksi dari riuh rendah berita politik, ekonomi, korupsi, atau bahkan infotainment. Seolah tak ada ruang bagi pemberitaan kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Wajar bila kemudian tak ada calon kepala daerah yang menaruh perhatian pada pembangunan KKB. Termasuk di Jawa Barat yang kini mencatatkan diri sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di tanah air.

Sekadar uji coba, ketiklah “program KB” pada mesin pencari Google, maka bandingkan jumlah entri yang muncul dengan frasa politik atau politik. Dari entri yang muncul sekedarnya, hasilnya menyedihkan. Tak ada sama sekali yang menyangkut Jawa Barat. Pencarian KB atau kependudukan hampir selalu menuju ke portal resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Barangkali memang hanya BKKBN yang mengurus pembangunan kependudukan. Lalu, coba tambahkan “Jawa Barat” dalam pencarian tersebut. Maka entri yang muncul kemudian adalah lagi-lagi portal resmi BKKBN, kali ini milik Perwakilan BKKBN Jawa Barat. Berbaris di bawahnya adalah beberapa berita basi program KB. Halaman pertama pencarian hanya menunjukkan satu berita yang ditulis tahun 2013. Sisanya berantai tahun 2012 atau bahkan satu di antaranya 2010.

Hmmm… di manakah mencari berita pembangunan KKB? Barangkali jawabannya memang tidak ada. Tidak ada ruang bagi pemberitaan KKB. Kalaupun ada, sekadarnya saja. Padahal, selain mempertimbangkan dampak mahadasyat overpopulasi tadi, negara telah menggelontorkan dana tidak sedikit untuk program KKB. Pada 2014 mendatang, tidak kurang dari Rp 3,3 triliun duit negara disiapkan untuk program yang pernah melambungkan nama Indonesia di pentas dunia ini. Sebuah program untuk kehidupan kemanusiaan dengan dukungan dana tidak sedikit tetapi nyaris tak komitmen pemangku kepentingan (stake holders) dan sepi pemberitaan media.

Bila hitungan Google tadi menjadi paramater pemberitaan program melalui media, komitmen stake holders bisa dilihat dari hasil asesmen Biro Perencanaan BKKBN pada tahun 2012. Menurut hasil asesmen tersebut, sejak bergulirnya otonomi daerah, perhatian dan komitmen pemerintah daerah terhadap program KKB mengalami penurunan dibanding pada masa pemerintahan Orde Baru. Terbukti dari hasil asesmen terhadap sampel representatif 15 kabupaten dan kota di Indonesia, komitmen pengalokasian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat kabupaten dan kota untuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi program keluarga berencana (KB) masing-masing, menunjukkan rentang proporsi anggaran berkisar 0,04-0,2 persen. Tak sampai 1 persen. Tragis benar.

Itulah beberapa hal senantiasa menjadi bahan perenungan para pegiat kepenulisan KKB yang tergabung dalam IPKB atau Ikatan Penulis Keluarga Berencana. Ya, IPKB hadir sebagai representasi para penulis dan/atau pemerhati KKB yang peduli terhadap pembangunan kependudukan dan keluarga. IPKB menjadi semacam katalisator pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan bangsa yang berpusat kepada kependudukan (people-centered development). IPKB berupaya mendorong isu-isu kependudukan menjadi isu sentral dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Bersama-sama dengan elemen masyarakat lainnya, IPKB Jawa Barat hadir sebagai wujud kepedulian masyarakat madani (civil society) untuk terwujudnya kehidupan umat manusia yang lebih baik melalui pembangunan kependudukan dan keluarga berencana.

Kepedulian ini tidak lepas dari peran pers atau media sebagai media informasi dan pendidikan (UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam kerangka itu, IPKB yang merepresentasikan komunitas insan pers dan pemerhati KKB maupun pemberdayaan masyarakat merasa turut bertanggung jawab untuk turut berperan aktif dalam kampanye penyadaran masyarakat mengenai pentingnya program KKB untuk kehidupan yang lebih baik. Upaya tersebut sejalan dengan tujuan IPKB sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar IPKB Pasal 2 yang menyebutkan bahwa tujuan IPKB adalah memperjuangkan tercapainya cita-cita, tujuan, dan kepentingan masyarakat, yaitu terwujudnya suatu masyarakat adil dan makmur melalui penulisan KKB serta pemberdayaan masyarakat.

Ikhtiar itu kemudian diwujudkan dalam sebuah portal berita kependudukan dan keluarga berencana, WWW.DUAANAKCOM. Portal ini dibangun sebagai bentuk partisipasi publik dalam pembangunan KKB. Kehadirannya menjadi semacam bandul lonceng yang mengingatkan akan datangnya masa depan dalam dekapan bahaya overpoluasi. Website ini lahir ketika kami teringat sebuah kalimat dalam Inferno, novel tadi.

“Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral.”

Bandung, 26 September 2013