Sambutan Harganas, Kepala BKKBN Soroti Bonus Demografi hingga Stunting dan Toxic People

“Semoga dengan waktu 10-15 tahun kita bisa mentransformasikan bonus demografi menjadi bonus kesejahteraan dan kita bisa keluar dari middle income trap, sebuah kondisi di mana negara-negara berpendapatan menengah sulit meningkatkan posisi mereka ke pendapatan tinggi.”

Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN

SEMARANG | WARTAKENCANA.ID

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menilai strategi yang paling tepat untuk menekan angka stunting adalah tetap mengikuti strategi nasional (Stranas). Salah satunya mengatur adanya dua intervensi dalam upaya melakukan percepatan penurunan stunting.

“Ada dua, bagaimana kita mengintervensi faktor sensitif dan spesifik. Keduanya harus simultan dijalankan. Secara khusus, strategi yang paling efisien adalah mendiagnosis dengan tepat. Sehingga kita tahu keluarga berisiko tinggi stunting yang mana, dan bayi yang stunting yang mana. Ibu hamil, pranikah menjadi bagian penting untuk mencegah stunting baru,” jelas Hasto saat menyampaikan laporan pada puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 di Kota Semarang, Jawa Tengah, pada 29 Juni 2024.

Sesuai stranas percepatan penurunan stunting, Hasto melaporkan bahwa semua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang hadir dengan jumlah lebih dari 10 ribu sudah berkomitmen baik. BKKBN terus melakukan sosialisasi dan edukasi. Pihaknya juga sudah melakukan pendataan untuk gerakan serentak intervensi dan juga percepatan penurunan stunting.

“Hari ini penimbangan, dan pendataan tinggi badan, pengukuran sudah mencapai 92,29 persen di seluruh Indonesia,” jelasnya.

Dengan demikian, perbedaan antara Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dan Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) yang dipertanyakan para kepala daerah dapat segera terjawab.

“Insya Allah dalam waktu dekat akan dilakukan verifikasi dan validasi (verval) terhadap data yang bapak ibu kepala daerah berikan, dan segera angka tersebut akan diselesaikan,” jelas Hasto.

Toxic People

Dalam penanganan stunting, Hasto menyampaikan hasil intervensi yang dilakukan setiap hari membuahkan hasil yang semakin membaik. “Kita bersyukur ada faktor sensitif, termasuk yang sangat populer, perkawinan usia anak mengalami penurunan secara signifikan yaitu 6,92 persen. Termasuk menurun dispensasi nikahnya, dari hari ke hari faktor yang membuat stunting membaik.”

Namun, di sisi lain, angka perceraian terus meningkat. “Kita perlu prihatin angka perceraian meningkat dań bahkan terakhir mencapai 516.344 kasus perceraian. Saya kira ini perlu mendapat perhatian kita semua di Hari Keluarga ini.”

Latar belakang perceraian, menurut Hasto, karena banyaknya toxic people, toxic relationship, toxic friendships yang akhirnya di dalam keluarga terjadi uring-uringan.

Sehingga akhirnya bercerai, mayoritas karena perbedaan kecil-kecil yang berkepanjangan.

Bonus Demografi

Di bagian lain, Hasto menjelaskan tema peringatan Harganas ke- 31 tahun ini, “Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas”. Makna keluarga berkualitas menuju Indonesia Emas adalah terciptanya sumber daya manusia (SDM) unggul dan mampu meraih bonus demografi.

“Bonus demografi kita maju, puncaknya di tahun 2020 meskipun beberapa provinsi mundur dan beberapa maju,” ujarnya.

Menurut Hasto, bangsa ini pelan-pelan sudah meninggalkan puncak bonus demografi, dan tahun 2035 bangsa ini sudah harus menanggung beban para lansia yang jumlahnya tidak sedikit.  Yang harus menanggung adalah   generasi sandwich (sandwich generation). Dokter Hasto berharap mudah-mudahan bukan generasi strawberry yang lembek, tapi generasi yang kuat.

“Semoga dengan waktu 10-15 tahun kita bisa mentransformasikan bonus demografi menjadi bonus kesejahteraan dan kita bisa keluar dari middle income trap, sebuah kondisi di mana negara-negara berpendapatan menengah sulit meningkatkan posisi mereka ke pendapatan tinggi,” ujar dokter Hasto.

Sisi lain yang harus menjadi perhatian, sesuai arahan Presiden Jokowi, adalah  membangun bangsa dan negara harus dimulai dari keluarga. Begitu juga Kampung Keluarga Berkualitas (KB) harus ada di seluruh Indonesia. Artinya, semua desa menjadi Kampung Keluarga Berkualitas. Ukuran kualitas keluarga ditentukan tiga hal yaitu tenteram, mandiri dan bahagia.

“Yang paling tercapai adalah kebahagiaan, angkanya 71,86. Ini menunjukan bahwa keluarga-keluarga di Indonesia meskipun belum punya kemandirian yang baik, alhamdulillah bahagia.”

“Sementara kemandirian angkanya paling rendah. Ketenteraman lumayan angkanya 59, namun kebahagiaan paling menonjol. Inilah bangsa kita yang penuh dengan gotong royong, nilai-nilai Pancasila membawa kita bahagia,” ucapnya.

Hasto menyebut provinsi dengan penduduk besar seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Dari keempat Provinsi ini  tertinggi nilai angka kebahagiaanya adalah Jawa Tengah 62,9. 

Adapun kemandirian tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau. Ini menunjukkan bahwa keluarga-keluarga  berkemakmuran dan berkesejahteraan  berada di provinsi tersebut.

Oleh karena itu lanjutnya, dari keluarga yang berkualitas diharapkan akan melahirkan anak-anak  cerdas dan terbebas dari stunting.

Stunting membawa dampak tidak cerdas dan pertumbuhan otaknya mengalami defisit sehingga kemampuan intelektual skillnya tidak optimal. “Kita boleh bersedih tapi tidak perlu minder ketika IQ kita masih di 78 dengan urutan ke 130,” ujarnya.

Lanjutnya, “Hari Ini, kualitas SDM tidak cukup diukur dengan Human Development Index (HDI) tetapi dengan Human Capital Index (HCI) dan urutan HCI kita juga masih di bawah.”

Semua parameter itu berhubungan dengan stunting. Oleh karena itu BKKBN bersama mitra kerja dan masyarakat  mempercepat penurunan stunting. “Semua tim bergerak dengan baik. Ini satu upaya untuk memperbaiki semua,” ujar dokter Hasto.(NJP)