BKKBN menetapkan performa program Bangga Kencana di Indonesia diukur melalui ketercapaian 10 sasaran kinerja. Dalam 10 sasaran tersebut terdapat 30 indikator kinerja, dengan tujuh di antaranya merupakan indikator kinerja utama. Mencermati hasil perhitungan tujuh indikator kinerja utama, performa Bangga Kencana 2023 rupanya tak moncer-moncer amat. Meski tak jeblok juga. Rapornya beragam dalam dua kombinasi warna: merah dan biru.
Bulan terakhir 2023 belum habis saat Deputi Advokasi Penggerakkan dan Informasi (Adpin) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan hasil perhitungan tujuh indikator kinerja utama (IKU) program pembangunan keluarga, kependudukan, dan keluarga berencana (Bangga Kencana) kepada Kepala BKKBN. Perhitungan tujuh IKU 2023 didasarkan pada hasil Pemutakhiran Pendataan Keluarga 2023 (Pemutakhiran PK-23). Hasil perhitungan tersebut kemudian dirilis menjadi buku saku dengan judul “Infografik Kinerja Utama Bangga Kencana: Hasil Pemutakhiran Pendataan Keluarga 2023”.
Merujuk pada publikasi BKKBN, tujuh IKU meliputi angka prevalensi kontrasepsi modern atau modern contraceptive prevelance rate (mCPR), persentase kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (Unmetneed), dan persentase peserta KB aktif (PA) yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Kemudian, indeks pembangunan keluarga (iBangga), median usia kawin pertama (MUKP) wanita, persentase masyarakat (keluarga) yang terjangkau program Bangga Kencana, dan persentase tingkat putus pakai pemakaian kontrasepsi atau discontinuation contraceptive rate (DCR).
Secara nasional, hasil penghitungan IKU menunjukkan empat di antaranya berhasil memenuhi atau melampaui target. Sementara tiga lainnya ditandai merah yang berarti tidak berhasil mencapai target yang dipatok sebelumnya. Rapor biru untk indikator MUKP (22,3 tahun), iBangga (61,43), persentase masyarakat yang terjangkau program Bangga Kencana (80,10 persen), dan persentase DCR (20,3 persen). Rapor merah untuk indikator mCPR (60,4 persen), unmetneed (11,5 persen), dan persentase PA MKJP (23,6 persen).
Bagaimana dengan Jawa Barat? Capaian indikator mCPR rupanya masih belum berhasil memenuhi target 65,04 persen. Laporan kinerja menunjukkan prevalensi untuk kontrasepsi modern baru menyentuh angka 63,2 persen. Capaian ini hanya sedikit lebih tinggi dari mCPR 2022 sebesar 60 persen. Namun, jauh di bawah Kalimantan Selatan yang berhasil melewati angka 70 persen.
Yang menarik hasil penghitungan Direktorat Pelaporan dan Statistik (Ditlaptik) BKKBN ini memiliki perbedaan cukup mencolok dibandingkan dengan data yang disajikan Sistem Informasi Keluarga (Siga) sebagaimana diakses melalui https://siga.bkkbn.go.id pada 16 Januari 2024. Merujuk materi rapat pegendalian program (Radalgram) Perwakilan BKKBN Jawa Barat, mCPR per Desember 2023 berada pada angka 69,35 persen. Dari 7.664.534 pasangan usia subur (PUS) di Jabar, 5.315.482 di antaranya merupakan peserta KB aktif.
Jawa Barat tampak berhasil dalam memenuhi target penggunaan MKJP. Persentase PA MKJP mencapai 19,1 persen dari target semula 18,5 persen. Angka ini relatif sama dengan data Siga yang menyebutkan angka 18,3 persen. Namun demikian, capaian Jawa Barat masih di bawah angka nasional sebesar 23,6 persen. Jawa Barat terjebak di posisi kesembilan secara nasional. Persentase terbaik milik Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 52,5 persen. Adapun yang terburuk adalah Kalimantan Selatan dengan persentase 9,4 persen.
Rapor biru juga ditunjukkan dalam keberhasilan menurunkan unmetneed. Jika sebelumnya dipatok 12,69 persen, dalam pelaksanaannya berhasil menekannya hingga 10,6 persen saja. Kinerja Jabar ini lebih baik dari nasional yang masih berkutat pada angka 11,5 persen. Dibandingkan 33 provinsi lainnya, angka unmetneed Jabar berada di urutan ke-13. Unmetneed tertinggi adalah Papua (35 persen), sementara terendah adalah Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 5,2 persen.
Jumlah unmetneed lagi-lagi memiliki perbedaan dengan data Siga yang disajikan dalam Radalgram BKKBN Jawa Barat. Merujuk Siga, unmetneed Jawa Barat sedikit lebih banyak, sebesar 11,36 persen. Dari 7.664.534 PUS di Jawa Barat, 870.915 di antaranya tidak terlayani.
Dicermati lebih jauh, data Siga menyajikan data menarik. Angka unmetneed tampak memiliki anomali jika dibandingkan dengan karateristik wilayah dalam dikotomi perdesaan versus perkotaan. Tujuh kota di Jawa Barat memiliki unmetneed di atas Jawa Barat, yakni Kota Bekasi (19,86 persen), Kota Depok (17,13 persen), Kota Cirebon (17,12 persen), Kota Bogor (16,09 persen), Kota Bandung (14,39 persen), Kota Sukabumi (13,61 persen), Kota Cimahi (12,74 persen), Kota Tasikmalaya (11,41 persen). Hanya Kota Banjar yang berhasil menekan unmetneed hingga 7,46 persen sekaligus menempatkannya pada posisi keempat unmetneed terkecil di Jawa Barat.
Disebut anomali karena posisi strategis kota yang identik dengan fasilitas kesehatan (Faskes) lengkap dan modern belum mampu memberi kontribusi signifikan pada pemenuhan layanan keluarga berencana (KB). Tiga unmetneed terendah seluruhnya merupakan wilayah yang didominasi perdesaan. Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Subang yang bertetangga misalnya, dua kabupaten ini berhasil menekan unmetneed masing-masing 5,88 persen dan 7,1 persen.
Kabupaten Sukabumi lebih menarik lagi. Kabupaten terluas di Pulau Jawa dan Bali ini mampu menekan unmetneed sebesar 7,13 persen. Luas wilayah tidak menghalangi bergulirnya pelayanan KB kepada masyarakat. Dari 430.521 PUS di Kabupaten Sukabumi, hanya 30.700 yang belum berhasil terlayani KB.
Secara absolut, Kabupaten Bogor tercatat sebagai daerah dengan jumlah unmetneed tertinggi sebanyak 111.466 PUS. Bahkan, angka ini lebih tinggi dari total PUS di Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi, Kabupaten Pangandaran, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, dan Kota Banjar.
Di sisi lain, indeks pembangunan keluarga Jawa Barat masih jeblok. Dengan raihan 60,15, Jabar berada dalam kelompok medioker sembilan terbawah. Jabar gagal memenuhi ekspektasi awal sebesar 62,44. Padahal, iBangga sangat penting untuk menetapkan status capaian pelaksanan pembangunan keluarga di suatu wilayah yang diklasifikasikan menjadi tangguh, berkembang, dan rentan. iBangga merupakan indeks pengukuran kualitas keluarga yang ditujukan melalui tiga dimensi, yaitu dimensi ketentraman, kemandirian, dan kebahagiaan keluarga.
Kabar baik bagi Jawa Barat yang sebelumnya lekat dengan tingginya perkawinan usia muda. Hasil penghitungan menunjukkan median usia kawin pertama perempuan berada pada angka 21,6 tahun. Sebelumnya, Jabar mematok target yang sama dengan usia kawin ideal bagi perempuan, 21 tahun. Memang capaian Jawa Barat masih di bawah nasional yang berhasil menaikkan media usia kawin dari 21 tahun pada 2022 menjadi 22,3 tahun pada 2023.
Kabar baik lainnya, Jabar berhasil menekan tingkat putus pakai kontrasepsi. Dari target 20,5 persen, DCR Jawa Barat pada 2023 sebesar 19,5 persen. Angkanya juga lebih baik dari rata-rata nasional sebesar 20,5 persen. Angka ini menarik jika dibandingkan dengan persentase PA MKJP. Meski persentase MKJP rendah, namun akseptor non-MKJP di Jawa Barat boleh dibilang memiliki kedisiplinan tinggi dalam pemakaian kontrasepsi, sehingga tidak mengakibatkan keterputusan pemakaian kontrasepsi.
Sayangnnya, kinerja Jawa Barat kembali gagal dalam memenuhi target capaian persentase masyarakat yang terjangkau program Bangga Kencana. Hingga akhir 2023, Bangga Kencana hanya mampu menjangkau 81,5 persen masyarakat Jawa Barat. Padahal, target yang dipatok mampu menjangkau hingga 83,64 persen masyarakat. Meski begitu, capaian Jawa Barat masih lebih baik dari rata-rata nasional sebesar 80,1 persen.
“Melihat angka-angka capaian IKU tentu kita bisa menyebutnya berhasil. Terlebih TFR kita kan sudah rendah mendekati 2,1. Ini menunjukkan bahwa program Bangga Kencana di Jawa Barat berjalan dengan baik. Walaupun sebetulnya target-target sekarang ini agak berat ya karena tidak ditunjang dengan anggarannya,” ungkap Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Fazar Supriadi Sentosa menanggapi laporan capaian kinerja 2023.
Anggaran program Bangga Kencana juga tidak lepas dari bayang-bayang recofusing. Agenda-agenda nasional yang membutuhkan dana besar selalu mengakibatkan adanya refocusing di sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian. Jika sudah refocusing, maka bahasanya menjadi sederhana, pengurangan alias pemotongan anggaran.
“Itu yang membuat berat. Pada bagian output tertulis target sekian, tapi tidak didukung penuh dengan anggaran. Jadi, pengaruhnya di situ. Walaupun demikian, alhamdulillah dengan keterbatasan anggaran kita masih mampu memenuhi target-target sebagaimana menjadi indikator kinerja utama,” ungkap Fazar.(N)